Paseban Tri Panca Tunggal
Kecamatan Cigugur, tepatnya di Jalan Raya Cigugur No. 1031 Kuningan terdapat cagar budaya nasional Gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Gedung anggun bercat putih dengan deretan jendela besar sepanjang dindingnya.
Paseban Tri Panca Tunggal didirikan tahun 1860 oleh Kiai Madrais, nama yang dikenal luas oleh masyarakat Jawa Barat sebagai pemimpin aliran agama Djawa Sunda atau adat cara Karuhun Urang atau Sunda Wiwitan, aliran kepercayaan terhadap ajaran leluhur masyarakat Sunda. Aliran penghayat yang tidak memeluk satu pun agama di Indonesia.
Di tempat inilah cucu Kiai Madrais, Djatikusumah, mukim bersama keluarganya (40 orang termasuk Emilia sang istri, delapan orang anak kandung, dan puluhan anak asuh), meneruskan ajaran leluhur. Sejak tahun 1970-an, Paseban Tri Panca Tunggal ditetapkan sebagai cagar budaya nasional.
Setiap tahun, yakni tanggal 18 hingga 22 Rayagung menurut penanggalan Sunda, ratusan orang datang ke tempat ini merayakan rangkaian acara Seren Taun, ungkapan rasa syukur masyarakat agraris Sunda terhadap Gusti Yang Widi Wasa atas hasil panen.
Meski acara ini awalnya diadakan masyarakat penghayat agama Djawa Sunda namun semakin lama semakin beragam umat yang ikut merayakan, komunitas multiagama. Yang datang juga bukan hanya masyarakat Kuningan, namun ikut pula utusan masyarakat Baduy Kanekes Banten, Dayak Losarang Indramayu, Ciptagelar Sukabumi, Kampung Naga Tasikmalaya, Using, hingga perwakilan dari Aceh. Masyarakat penghayat di daerah Cigugur memang semakin lama semakin sedikit jumlahnya, sekarang malah menjadi golongan minoritas di antara penganut-penganut agama yang diakui negara.
Pada masa Orde Baru, upacara Seren Taun pernah dihentikan selama 17 tahun karena dianggap aliran sesat. Mulai tahun 1999 upacara ini mulai diadakan lagi. Seren Taun berikutnya diadakan 8—12 Januari 2007.
Kekhasan Gedung Paseban Tri Panca Tunggal adalah pilar-pilar besar dengan hiasan naga dan awan pada bagian dasarnya, menyangga langit-langit yang terbuat dari kayu. Kompleks bangunannya terdiri dari beberapa bangunan dan ruang yang menghadap ke arah barat. Peletakan ini merupakan lambang perjalanan matahari, diartikan bahwa dalam pergelaran hidup ada lahir dan mati.
Bangunan inti Paseban terdiri dari Ruang Jinem, Pendopo Pagelaran, Sri Manganti (bagian depan padaleman), dan Dapur Ageung.
Ruang Jinem membujur arah utara-selatan. Pada masa dulu ruang ini dipakai sebagai tempat saresehan/ ceramah untuk memperdalam pengertian hidup dan kehidupan serta mengenal dan merasakan adanya cipta, rasa, dan karsa.
Di Ruang Pendopo dapat ditemui banyak perlambang ajaran Kiai Madrais, seperti relief bertuliskan aksara Sunda, Purwa Wisada, yang berarti cipta dan karsa adalah ketentuan sebagai hukum kodrati. Ada pula burung garuda di atas lingkaran yang ditunjang dua ekor naga yang saling terkait, melambangkan harus adanya pengertian antara pria dan wanita dalam menghadapi hidup.
Ruang Sri Manganti adalah sebagian dari ruangan Padaleman (ruang lebet) yang membujur dari utara ke selatan. Tempat ini digunakan untuk penyelenggaraan upacara-upacara pernikahan, untuk merundingkan masalah seperti persiapan upacara Seren Taun, dan memecahkan masalah-masalah keluarga.
Dalam ruangan ini pula ditempatkan Bale Kancana, yakni pelaminan khusus keluarga yang pada masa dulu sebagai palinggihan. Ruang padaleman berbentuk segi empat yang di tengahnya terdapat sebuah ruangan yang merupakan bangunan tersendiri. Bangunan tengah ini merupakan ruang tempat penyimpanan buku-buku sejarah dan keagamaan dari segala agama.
Dapur Ageung adalah tungku perapian terbuat dari semen yang di empat sudutnya terdapat naga bermahkota. Hal ini menggambarkan adanya perikemanusiaan (mahkota) mengatasi nafsu yang harus diarahkan dalam bimbingan kehalusan budi manusia.
Adanya Dapur Ageung seringkali dijadikan alasan pihak lain menuding bahwa Kiai Madrais dan pengikutnya sebagai orang-orang penyembah api dan bersembahyang di depan api. Padahal tudingan itu sama sekali tidak beralasan.
Dua kali seminggu di Paseban Tri Panca Tunggal diadakan pelatihan keterampilan menari, menembang, dan dongeng bagi siswa-siswi TK hingga SMA. Selain itu diajarkan pula pelajaran budi pekerti, hal mata pelajaran yang sudah bertahun-tahun dihilangkan dari kurikulum sekolah. Bagi ibu-ibu diajarkan membatik motif khas Cigugur, motif yang sudah lama terlupa.
Selain pada perayaan Seren Taun, pintu Paseban terbuka lebar bagi masyarakat yang ingin berkunjung. Baik itu sekadar melihat-lihat fisik gedung, memancing, belajar membatik, atau berdiskusi dengan Djatikusumah.
Keramahan Djatikusumah dan keluarga membuat perbincangan yang berjam-jam terasa singkat. Apalagi sambil ditemani suguhan kampung berupa labu rebus, ubi rebus, pisang goreng, serta secangkir kopi di tengah kesejukan angin Gunung Ciremai saat senja.
0 comments:
Post a Comment